DEPOK – Gerakan Depok Bersatu (GEDOR) yang merupakan gabungan 5 ormas dan 7 LSM di Kota Depok meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyelidiki dugaan korupsi yang dilaporkan oleh LSM Gelombang. Permintaan ini menunjukkan komitmen GEDOR dalam memperjuangkan transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan pemerintahan di Kota Depok.
Menurut Ketua GEDOR Eman Sutriadi, KPK memiliki peran penting dalam memerangi korupsi di Indonesia. “Sebagai lembaga independen, KPK memiliki wewenang untuk menyelidiki dan menindaklanjuti dugaan korupsi yang dilaporkan oleh masyarakat atau organisasi,” ujar Eman.
Dalam hal ini, GEDOR berharap KPK dapat segera menindaklanjuti laporan dari LSM Gelombang dan melakukan penyelidikan yang transparan dan akuntabel. Dengan demikian, masyarakat dapat memantau kemajuan penanganan kasus korupsi dan mengetahui apakah KPK telah melaksanakan tugasnya sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Sementara Sekjend GEDOR, Torben Rando alias Tora menambahkan, bahwa banyak sekali kasus-kasus korupsi pengadaan lahan di daerah lain termasuk Kota Bekasi yang dekat dengan Kota Depok sudah dibongkar oleh KPK. “Kenapa Kota Depok banyak laporan dugaan kasus korupsi tapi tak pernah diusut tuntas oleh KPK?,” ujar Tora, mantan aktivis 98 PRD.
Pengadaan lahan untuk Sekolah SMP Negeri di wilayah Kelurahan Curug, Cimanggis, Kota Depok terus mendapat sorotan berbagai pihak. Ketua LSM Gelombang Cahyo Putranto yang meyakini dalam proses pengadaan lahan untuk pembangunan sekolah SMP Negeri yang menggunakan anggaran negara senilai 15 miliar lebih itu diduga dikorupsi.
“Pada proses penganggaran tahun 2024 untuk belanja kegiatan pengadaan lahan ini ditetapkan menggunakan dana Pokok Pikiran (Pokir-red) DPRD Kota Depok senilai Rp. 15.166.000.000. Lahan yang dibebaskan atau diberikan ganti rugi hanya 4000 m² dari total lahan seluas 7.416 m² milik Lie Peng Yang,” ungkap Cahyo Putranto.
Dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi dalam pengadaan lahan ini bukan isapan jempol semata, sebab Cahyo membeberkan, pihak ahli waris tanah Lie Peng Yang tersebut hanya menerima ganti rugi sekitar Rp 1.000.000 sampai Rp 1.300.000/m².
“Jika angka total ganti rugi tanah adalah sebesar Rp15.166.000.000 dan jika dibagi 4000m² , maka seharusnya ahli waris terima uang ganti rugi sebesar Rp 3.791.500/m² bukan 1 -1,3 juta,” terang pria bertubuh gempal tersebut.
Apabila mengacu pada fakta terkait luas lahan dan nilai ganti rugi tersebut, lanjut Cahyo, maka ada selisih angka ganti rugi yang wajib dipertanyakan dan diduga menjadi ‘bancakan’ para oknum yang terlibat dalam pengadaan tanah ini untuk memperkaya diri sendiri ataupun kelompok dikisaran Rp 2.491.500 sampai Rp 2.791.500/m².
“Jika selisihnya dikalikan 4000 m² luas lahan yang dibebaskan, maka uang negara mengalami kerugian mencapai 11 miliar lebih. Kami, menduga selisih uang ini telah mengalir ke unsur pimpinan di Pemerintah Kota Depok, juga untuk kepentingan salah satu Calon Walikota di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Depok tahun 2024. Disisi lain, para mafia tanah dipastikan turut bermain dalam pengadaan lahan ini,” tegas Cahyo.(rd)