Aksi seni mural yang tengah marak di sejumlah daerah membuat “baper” pemerintah hingga perlu menggerakkan aparat untuk menghapusnya.
Seperti mural satir masa pandemi macam “Tuhan Aku Lapar”, “Dipaksa Sehat Di Negara Yang Sakit”, “Dipenjara Karna Lapar”, juga “Jokowi 404:Not Found”
Ketua Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (JAKER) Tri Okta Sulfa Kimiawan mengatakan, seharusnya Pemerintah pusat dan daerah tidak perlu berlebihan dalam menyikapi kreatifitas seni jalanan yang digandrungi kaum millenial tersebut, karena hakekatnya manusia adalah makhluk simbolik.
“Saya mengecam pembungkaman berpendapat lewat mural, karena itu bertentangan dengan konstitusi UUD Pasal 28 yang bunyinya: setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat,” tegas pemuda yang biasa dipanggil Okta ini dalam keterangan, Selasa (31/8).
Okta mengingatkan kepada pemangku kekuasaan untuk menjamin kebebasan berekspresi di ruang publik dan menegaskan menolak tendensi kemunduran demokrasi di Indonesia. Karena menurutnya demokrasi hari ini didapat melalui proses panjang dan berdarah-darah.
Ia mengajak semua pekerja seni budaya bersatu melawan kesewenang-wenangan tersebut. Ia juga menyerukan ke pegiat seni mural untuk terus kritis berkarya menyuarakan isu-isu ketidakadilan, anti korupsi, keberpihakan pada rakyat biasa, juga terlibat dalam isu politik hingga tahap berpolitik mendukung partai anti oligarki.(Sab)