Oleh : Mohammad Radius Anwar
Sila ke 4 Pancasila, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
Kerakyatan, kemasyarakatan, ke-sosial-an atau hal terkait dengan cara pandang bermasyarakat, yang identik kita sebut sebagai pandangan sosialis.
Sosialis adalah sebuah keniscayaan di dalam budaya dan kehidupan bangsa Indonesia, bekerja, berdagang, bertani, melaut, beternak, dan semua aspek kehidupan sehari-hari, berkelompok-kelompok, membaur bersama, Nongkrong diwarung kopi, berolahraga, berkesenian dan berkebudayaan.
Kehidupan itu sebagai faktisitas (keterhempasan manusia yang lahir di bumi Nusantara ini), ia memiliki nilai budaya, norma, etika dan sopan-santun( perilaku etik), yang kesemua itu terangkum di dalam perbuatan, tutur kata, tindakan dalam lingkup sosial kemasyarakatan, baik ia seorang buruh berkerja di pabrik, petani di sawah, pedagang, di pasar, birokrat di kantor dan pejabat/ penguasa, patut menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut.
Nilai-nilai itu dimanifestasikan ke dalam orkestrasi (nada dan irama kehidupan bermasyarakat ) dalam ruang lingkup rumah tangga (keluarga) / RT/RW/ Lurah/Camat/ Bupati /Walikota/ Gubernur/Menteri sampai kepada kepala negara (presiden), nilai itu bisa berupa kesepakatan bersama ( konsensus), kontrak perjanjian, program kerja yang dituangkan ke dalam rencana langkah-langkah ( kebijakan ) berdasar pada sebuah kesepakatan yang dibuat secara bersama-sama, _output_nya dari itu haruslah hikmat kebijaksanaan.
Hikmat kebijaksanaan itu dipimpin dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan etika bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam ucapan dan tindakan secara bijaksana ( dari hati nurani/ akal sehat, dan intiusi yang tajam) pada permusyawaratan perwakilan ( yang diwakilkan ), melalui tahapan berjenjang, dengan pemilihan umum. Aspirasi masyarakat diwakilkan kepada permusyawaratan ( DPRD, DPD, DPR-RI, Pilpres).
Mencermati sila ke-4 ini, ada hal yang kurang pantas dan kurang sebagai seorang pemimpin negara dalam mengimplementasikan kata-kata hikmat kebijaksanaan menjadi hal yang nihil pada konteks Pemilu di tahun 2024. Pemerintah dalam hal ini Presiden dan penyenggara pemilu (KPU), serta instansi kementerian dan perangkat daerah serta desa itu tidak menjalankan manat dan kewajibannya sesuai dengan tanggung jawab yang diembannya, hal itu secara otomatis telah mengangkangi Pancasila Sila ke-4.
Terkait dengan problematika praktek-praktek yang diindikasi ada kecurangan pemilu, yang dilakukan oleh oknum dan para pihak yang secara kepentingan bersinggungan didalamnya. Kecurangan itu nampak jelas dimuka umum dan tidak hanya satu terjadi, dibeberapa daerah, manipulasi dan terjadinya penggelembungan suara, pengerahan aparatus negara yang diintimidasi, dan pejabat negara yang tidak netral.
Bagaimana pemerintah yang notabe sebagai penjaga (avant garde) dan pengamal utama Pancasila justru malah mengkhianati nilai-nilai luhur yang terkandung pada kata hikmat kebijaksanaan itu!!?.
Nilai hikmat kebijaksanaan Ini sangat kontraproduktif, bertolak belakang dari penyenggaraan pemilu yang bebas dari nepotisme dan politik dinasti, sungguh sangat tidak pantas dilakukan oleh penyenggara negara.
Kerakyatan atau sosialisme menjadi rusak akibat perbuatan penyenggara negara, yang tidak mencerminkan semangat kebersamaan, gotong royong, dan saling menghormati sesama.
Presiden Jokowi telah mencederai nilai kerakyatan, mencederai proses pemilu ( keterwakilan), dan mencerai nilai-nilai moral dan etika, presiden hanya berpikir untuk hal yang sempit, mementingkan kelompok, pribadi dan keluarganya. Sifat-sifat ini sangatlah dicela oleh Pancasila sebagai dasar pegangan bernegara di Indonesia. Siapa pun ia yang mengaku orang Indonesia tanpa terkecuali ,ia harus paham betul jati dirinya, ia harus paham betul sejarah bangsanya,dan ia harus paham betul moral dan etika yang berlaku di dalam masyarakat baik itu moral berbangsa dan moral bernegara.
Hikmat kebijaksanaan terkikis oleh pandangan yang sangat individualistik, egois, tafsir kebenaran hanya ada padanya, orang lain tidak penting dan tidak berarti dimatanya.
* Penulis adalah Alumnus Filsafat UGM