JAKARTA – Sejumlah sastrawan yang tergabung dalam Imaji Indonesia, sebuah komunitas yang aktif menggerakkan berbagai kegiatan sastra, melahirkan majalah sastra berbasis Instagram yakni Imajisia. Majalah yang bisa diakses di akun @imajisia itu diklaim sebagai majalah sastra pertama di Instagram yang memuat puisi, prosa, dan artikel seperti esai, resensi buku, dan berita sastra.
“Lewat majalah ini, kami ingin mewarnai Instagram dengan karya-karya bermutu,” kata Ketua Imaji Indonesia, Willy Ana, di Jakarta, Sabtu, 7 November 2020.
Willy Ana yang juga salah satu host Malam Sastra Margonda, Depok, itu mengatakan ada sebagian anggapan bahwa karya-karya yang muncul media sosial kualitasnya di bawah standar. Hal itu tidak sepenuhnya benar, karena ada juga karya-karya bagus disiarkan di media sosial.
Masalahnya, ia menambahkan, karya-karya bagus itu terpencar-pencar di berbagai akun milik para penyair. “Nah, lewat majalah sastra @imajisia, kami membuka akses untuk mengumpulkan karya-karya bagus itu agar mudah ditemukan,” tutur penyair asal Bengkulu itu, yang juga penggagas Festival Sastra Bengkulu.
Ia bercerita bahwa gagasan awal majalah ini datang dari penyair Mustafa Ismail. “Bang Mustafa Ismail selama ini memang antusias mempelajari media sosial dan mengamati karya-karya yang muncu di sana, terutama Instagram,” ujar Willy Ana. “Saya sangat mendukung ide itu, karena sangat tepat pada masa sekarang di mana banyak anak muda main di Instagram.”
Mereka lalu mengajak dua pegiat sastra lainnya untuk menjadi tim kurator, yakni esais dan jurnalis Iwan Kurniawan serta penyair dan cerpenis Mahwi Air Tawar. “Setiap karya yang masuk, kami lempar ke grup tim kurator untuk dibaca dan didiskusikan sama-sama. Jadi penentu karya dipilih dan ditayangkan bukan satu orang, tapi empat orang,” kata pemilik akun Instagram @puisiwilly itu.
Willy menambahkan bahwa mereka sedang mengupayakan dan mencari cara agar bisa memberi tanda terima kasih atau honor kepada karya-karya pilihan, seperti puisi pilihan dan cerpen pilihan. “Semoga ada donatur atau sponsor yang tergugah ikut mendukung. Meskipun basis majalah ini di media sosial, kami tetap ingin menghargai karya-karya bagus.”
Ia sedang menimbang untuk mengenakan sistem donasi bagi pembaca majalah ini. Misalnya dengan mengunci akun atau disetting private, sehingga hanya follower yang bisa membaca. Nah, yang belum memfollow dan ingin membaca, diwajibkan memberi donasi. “Tapi sementara akun belum kami kunci, jadi siapa pun masih bebas memfollow untuk membaca isi majalah,” ujar Willy Ana yang sedang bekerja magang di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Depok itu.
Sementara Mustafa Ismail mengatakan bahwa menggunakan berbagai medium sebagai saluran karya-karya yang bagus adalah keniscayaan. Selama ini, menurut dia, sebagian orang cenderung mencela karya-karya yang muncul di media sosial, tetapi tidak memberi solusi bagaimana karya-karya bagus bisa hadir di sana. “Majalah berbasis Instagram ini adalah salah satu solusi itu.”
Penyair asal Aceh, yang juga salah satu penggerak Malam Sastra Margonda, itu menambahkan sebetulnya media sosial adalah medium, yang bisa diisi apa saja. Cuma, kebanyakan pengguna media sosial, terutama Instagram, adalah mereka yang berusia muda, 18-24 tahun. Maka menjadi wajar bahwa karya-karya yang muncul juga sesuai karakter dan usia mereka. “Inilah sebabnya penulis serius perlu hadir di sana, lewat karya, maupun konten lainnya untuk mengedukasi anak-anak muda ini dalam mengapresiasi sastra,” ujar Mustafa yang kerap berbagi tips menulis di akun Instagramnya @moesismail.
Mahwi Air Tawar menambahkan bahwa media sosial memang harus disikapi secara fair, tidak dengan apriori. Sebagai sebuah ruang, di media sosial sah saja hadir karya apa saja, dari sisi bentuk maupun kualitas. “Nah, di sinilah peran kita, penulis dan pegiat sastra, untuk memberi warna media sosial agar karya yang muncul di sana lebih berkualitas,” ujar penulis yang tinggal di Limo, Depok itu.
Sementara Iwan Kurniawan mengatakan media sosial adalah ruang ekspresi yang menjanjikan bagi penulis sastra, baik penyair, cerpenis, hingga esais. “Kini koran dan majalah satu persatu menghilangkan halaman sastra. Bahkan tak sedikit media cetak yang sudah tutup. Media online dan media sosial adalah solusinya,” ujar Iwan. “Tinggal lagi bagaimana menciptakan sistem kurasi agar karya yang mucul terjaga kualitasnya.”(rk)