Arloji Sejati Itu Bernama MARSINAH

Oleh: Torben Rando Oroh (Mantan Aktivis Liga Mahasiswa Nasional Demokrasi & Anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Depok)

0
95
Marsinah adalah seorang aktivis dan buruh pabrik Jaman Pemerintahan Orde Baru, berkerja pada PT. Catur Putra Surya Porong, Sidoarjo, Jawa Timur yang diculik dan kemudian ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993 setelah menghilang selama tiga hari.
Lahir pada 10 April 1969 di Kabupaten Nganjuk dan meninggal pada8 Mei 1993, dimakamkan diMakam Pahlawan Buruh “MARSINAH”. Pahlawan Buruh tersebut mendapat penghargaan dari Penghargaan Yap Thiam Hien.

Marsinah adalah sosok pejuang bagi buruh sekaligus simbol ketidakadilan dan penindasan. Kematiannya pada 8 Mei 1993 lalu, tidak hanya mengingatkan tentang perjuangan yang belum tuntas, namun juga menginspirasi Sapardi Dojo Damono. Kisah Marsinah abadi dalam sajak berjudul Dongeng Marsinah.

Sajak Dongeng Marsinah salah satunya muncucl dalam buku kumpulan sajak Sapardi berjudul Melipat Jarak.

Sajak tentang buruh pabrik arloji di Sidoarjo itu ditulis dalam enam bagian. Lewat sajak yang berima, Sapadi melantunkan kisah Marsinah sekaligus menggambarkan kekejaman yang harus dialaminya, di akhir masa hidupnya.

Dongeng Marsinah

/1/

Marsinah buruh pabrik arloji,

mengurus presisi:

merakit jarum, sekrup, dan roda gigi;

waktu memang tak pernah kompromi,

ia sangat cermat dan pasti.

Marsinah itu arloji sejati,

tak lelah berdetak

memintal kefanaan

yang abadi:

“kami ini tak banyak kehendak,

sekedar hidup layak,

sebutir nasi.”

/2/

Marsinah, kita tahu, tak bersenjata,

ia hanya suka merebus kata

sampai mendidih,

lalu meluap ke mana-mana.

“Ia suka berpikir,” kata Siapa,

“itu sangat berbahaya.”

Marsinah tak ingin menyulut api,

ia hanya memutar jarum arloji

agar sesuai dengan matahari.

“Ia tahu hakikat waktu,” kata Siapa,

“dan harus dikembalikan

ke asalnya, debu.”

/3/

Di hari baik bulan baik,

Marsinah dijemput di rumah tumpangan

untuk suatu perhelatan.

Ia diantar ke rumah Siapa,

ia disekap di ruang pengap,

ia diikat ke kursi;

mereka kira waktu bisa disumpal

agar lenkingan detiknya

tidak kedengaran lagi.

Ia tidak diberi air,

ia tidak diberi nasi;

detik pun gerah

berloncatan ke sana ke mari.

Dalam perhelatan itu,

kepalanya ditetak,

selangkangnya diacak-acak,

dan tubuhnya dibirulebamkan

dengan besi batangan.

Detik pun tergeletak

Marsinah pun abadi.

/4/

Di hari baik bulan baik,

tangis tak pantas.

Angin dan debu jalan,

klakson dan asap knalpot,

mengiringkan jenazahnya ke Nganjuk.

Semak-semak yang tak terurus

dan tak pernah ambil peduli,

meregang waktu bersaksi:

Marsinah diseret

dan dicampakkan —

sempurna, sendiri.

Pangeran, apakah sebenarnya

inti kekejaman? Apakah sebenarnya

sumber keserakahan? Apakah sebenarnya

azas kekuasaan? Dan apakah sebenarnya

hakikat kemanusiaan, Pangeran?

Apakah ini? Apakah itu?

Duh Gusti, apakah pula

makna pertanyaan?

/5/

“Saya ini Marsinah,

buruh pabrik arloji.

Ini sorga, bukan? Jangan saya diusir

ke dunia lagi; jangan saya dikirim

ke neraka itu lagi.”

(Malaikat tak suka banyak berkata,

ia sudah paham maksudnya.)

“apa sebaiknya menggelinding saja

bagai bola sodok,

bagai roda pedati?”

(Malaikat tak suka banyak berkata,

ia biarkan gerbang terbuka.)

“Saya ini Marsinah, saya tak mengenal

wanita berotot,

yang mengepalkan tangan,

yang tampangnya garang

di poster-poster itu;

saya tidak pernah jadi perhatian

dalam upacara, dan tidak tahu

harga sebuah lencana.”

(Malaikat tak suka banyak berkata,

tapi lihat, ia seperti terluka.)

/6/

Marsinah itu arloji sejati,

melingkar di pergelangan

tangan kita ini;

dirabanya denyut nadi kita,

dan diingatkannya

agar belajar memahami

hakikat presisi.

Kita tatap wajahnya

setiap hari pergi dan pulang kerja,

kita rasakan detak-detiknya

di setiap getaran kata.

Marsinah itu arloji sejati,

melingkar di pergelangan

tangan kita ini.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini