jabarinteraktif.com – Pembatasan sosial dan fisik karena pandemi virus corona tidak menghalangi sastrawan untuk mengenang penyair “Aku Sang Binatang Jalang”. Sekitar dua puluh sastrawan dari berbagai daerah di Indonesia membaca puisi untuk mengenang penyair Chairil Anwar, Sabtu malam, 25 April 2020, pukul 20.30 hingga 23.00. Pembacaan puisi dilakukan di akun Instagram @puisidirumahsaja dalam pentas sastra #puisidirumahsaja 5.
Para penyair yang membaca puisi antara lain, Isbedy Setiawan, Din Saja, Alex R Nainggolan, Mahwi Air Tawar, Mustafa Ismail, Zulfaisal Putera, Sudiyanto, Iwan Kurniawan, Berthold Sinaulan, Tora Kundera, Muhammad Alfariezie, Kamillo Yulisukma, Aflaha Rizal, dan Wrekudara Antasena. “Ada pula refleksi tentang Chairil Anwar yang disampaikan oleh sastrawan Aceh Din Saja,” kata Willy Ana, host acara tersebut.
Din Saja, dalam refleksinya, mengatakan Chairil itu cerdas, pembaca yang tangguh, pemikir hebat. Di usia muda sudah mampu melahirkan puisi-puisi yang kuat. “Pemilihan kata puisinya sederhana tapi sarat makna, romantik tapi pemberontakan. Chairil sebenarnya pantas mendapat Nobel, hanya saja “nasib” tidak berpihak,” ujar Din.
Para penyair yang membaca juga ikut memberi testimoni. Iwan Kurniawan, misalnya, mengatakan bahwa Chairil adalah penyair yang sangat ketat dalam mempertimbangkan diksi-diksi yang hadir dalam puisinya. Tidak ada ruang untuk menyunting kata-kata dalam puisi Chairil, karena semua kata yang hadir sudah begitu tepat. “Kata-katanya sangat padat,” ujar wartawan sebuah media nasional ini.
Adapun Tora Kundera, yang dikenal sebagai aktivis, mengatakan Chairil adalah sosok yang lengkap. Chairil menulis puisi apa yang dia dijalani dalam kehidupannya. Ketika jatuh cinta, ia menulis puisi cina. “Ketika ia terlibat dalam pergerakan dengan aktivis pejuang kemerdekatan, Chairil menulis puisi yang membangkitkan semangat berjuang,” ujar salah seorang penggagas Malam Sastra Margonda itu.
Sebagian besar penyair membacakan puisi karya Chairil Anwar, meskipun ada beberapa yang membacakan puisi sendiri yang masih ada kaitannya dengan Chairil. Salah satu penyair, Isbedy Stiawan ZS, antara lain, membaca puisi berjudul Hampa yang ditulis Chairil kepada Sri, berbunyi: Sepi di luar. Sepi menekan mendesak./ Lurus kaku pohonan. Tak bergerak/ Sampai ke puncak. Sepi memagut,/ Tak satu kuasa melepas-renggut/ Segala menanti. Menanti. Menanti.//
Pentas #puisidirumahsaja digagas penyair asal Aceh, Mustafa Ismail, dan penyair asal Bengkulu, Willy Ana. Ini dimaksudkan sebagai ruang untuk berkarya sekaligus menyegarkan suasana di tengah kejenuhan berada #dirumahsaja. Acara itu digelar tiap akhir pekan, dan kini telah memasuki pekan kelima, sebagian besar pada Sabtu malam.
Selama ini, puisi di rumah saja dilakukan di akun Instagram masing-masing penyair. Host acara hanya membuka dan menutup acara, sementara lalu lintas yang tampil dilakukan lewat WA dan akun IG @infosastra dan @imajihouse. “Kami mendapat banyak masukan bahwa itu merepotkan karena penonton harus pindah dari satu akun ke akun yang lain saat menonton. Belum lagi ada akun yang digembok sehingga penonton tidak bisa menonton,” ujar Willy Ana, yang juga mengagas dan menggerakkan Festival Sastra Bengkulu.
Mereka lalu mencari cara agar pembacaan puisi terfokus. “Sempat pula kami melakukan simulasi menggunakan Zoom Meeting, namun sepertinya baca puisi tidak cocok di sana. Zoom lebih cocok untuk diskusi,” kata Mustafa Ismail, menambahkan. Sebab di Zoom penonton harus diundang. “Sedangkan di Instagram siapa saja bisa menonton. Istilahnya orang yang lagi lewat di di lini masa Instagram pun bisa mampir menonton,” ujarnya.
Maka itu, pembacaan puisi #dirumahsaja 5 dan seterusnya terfokus pada satu akun yakni @puisidirumahsaja. Host mengundang penyair yang mendapat giliran tampil, lalu penyair mengeklik tombol minta bergabung, setelah disetujui layar di Instagram akan terbagi dua, bagian atas host dan bagian bawah penyair yang tampil. Ketika penyair membaca puisi, host menghilang dari sorotan kamera. “Willy bergeser dari kamera agar mirip seperti pembacaan puisi di panggung dan fokus penonton hanya ke satu orang yakni pembaca puisi.” *